Tingkat X Tingkat XI Tingkat XII
Tip dan Trik Software Tutorial KKPI
Jawa Pos Kompas Surya Wanita Opini Tausyiah
Khas Nganjuk Kuliner Nusantara Wisata Nusantara
SMKN 1 Nganjuk SMK PGRI 1 Kediri SMK PGRI 1 Nganjuk SMK Muh. 1 Nganjuk SMAN 1 Nganjuk SMAN 2 Nganjuk SMAN 1 Kediri
Sunday, June 6, 2010 | 9:16 AM | 0 Comments

Indonesia Tanpa Pancasila

Abdul Wahid
Dekan Fakultas Hukum Unisma Malang

Unas 2010 tercatat sebagai ujian memilukan dan memalukan. Betapa tidak, mata pelajaran yang membuat mayoritas peserta tidak lulus adalah Bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka didakwa melakukan praktik pengabaian atau peminggiran bahasa Indonesia.

Bagaimana jika posisi bahasa Indonesia digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan atau Pancasila? Akankah Pancasila akan mengalami nasib serupa dengan bahasa Indonesia? Atau mungkinkah Pancasila juga menjadi mata pelajaran atau ujian yang membuat anak didik tersungkur dalam ketidaklulusan?

Boleh jadi, anak didik kita atau setiap komponen penyelenggara pendidikan akan memperlakukan Pancasila tak ubahnya bahasa Indonesia atau mengalami nasib naas seperti bahasa Indonesia, yang sekadar disikapi atau dijadikan opsi sebatas pelajaran sekunder, tak fundamental, tak sakral, yang dikalahkan oleh pelajaran bahasa Inggris dan lainnya.

Suatu fakta (da sein) yang tak terbantahkan oleh siapapun, bahwa upaya mengenalkan, mentransformasikan atau menyosialisasikan Pancasila sudah dilakukan oleh banyak pihak dalam setiap perkembangan anak. Dalam pertumbuhan anak di rumah misalnya, sejak anak bisa membaca, menghafal, atau berlatih menulis, orang tua biasanya menjadikan Pancasila sebagai objek pembelajarannya. Oleh orang tua, Pancasila ini dikenalkan sebagai “kitab suci” kepadanya, di samping mengenalkan kitab suci agamanya.

Di sekolah atau perguruan tinggi, Pancasila secara terus menerus dikenalkan dan dijadikan objek diskursus kesejarahan maupun filosofis, yang membuat peserta didik (siswa), mahasiswa, dan dosen diharapkan tidak sampai mengidap amnesia tentang kesejatian ideologi negara.

Di kantor desa hingga wilayah strategis yang dihuni oleh para pejabat tinggi negara, Pancasila bukan sekadar dibaca berulang-ulang saat memperingati hari-hari besar, tetapi secara kultur juga dibaca setiap Senin sebagai “ayat-ayat suci kebangsaan” yang diharapkan setiap pembacanya mampu atau berusaha menjadikannya perikatan moral-spiritualitas yang mengawal sepak terjangnya.

Secara das sollen, logis kalau setiap elemen bangsa dituntut membentuk atau mendesain dirinya menjadi Pancasilais, pasalnya bukan hanya dari sisi historis Pancasila dihadirkan sebagai ideologi atau digiring lahir ke bumi pertiwi di saat penjajah masih mencengkeram, tetapi juga secara substansial, doktrin agung yang melekat dalam dalam diri Pancasila menggariskan tuntutan adiluhung supaya masyarakat negeri ini, menjadi masyarakat bersikap dan berperilaku berketuhanan, adil, beradab, menjunjung tinggi toleransi, dan menegakkan demokrasi.

Doktrin Aksesori

Sayangnya, ranah doktrin agung Pancasila tersebut lebih sering atau hanya lekat di atas kertas. Doktrin agung ini akhirnya dipersalahkan sebagai doktrin yang sebatas aksesori yang menghiasai dinding, yang hanya terbaca dan terhafal di balik ukiran pigura, sehingga memungkinkan doktrin ini terbatas sebagai bait-bait yang dihafal dan bukan sebagai doktrin yang menjiwai dan “membumi” dalam diri elemen bangsa.

Kegamangan dan tuduhan seperti itu tak bisa disalahkan, pasalnya kecenderungan yang tengah terjadi di masyarakat adalah semakin tersudutnya, tergerusnya, dan bahkan terdegradasinya nilai-nilai agung Pancasila akibat dimenangkan atau dipanglimakannya nilai-nilai adigang-adigung, baik dalam kehidupan keseharian di rumah, di kantor, maupun aspek-aspek strategis lainnya.

Memang, potret memalukan dan memilukan saat ini sedang menghegemoni negeri ini, yang membuat negeri ini sampai pantas dijuluki sebagai negara yang sedang kehilangan Tuhan, termasuk kehilangan Pancasila. Pelajaran tentang hidup bertuhan, berkeadaban lintas etnis, sosial, agama, dan budaya, menjunjung tinggi kesatuan dalam keragaman, atau menegakkan prinsip berdemokrasi di tengah heteroginitas kepentingan, ternyata tidak lebih dari kumpulan doktrin agung yang mengisi ranah hafalan dan aksesoris kehidupan.

Meminjam istilah filosof F Nietszhe, bangsa ini layak sedang mengalami “kematian tuhan” atau agama tidak lagi tampak menghiasi, mewarnai, dan memfondasi Indonesia. Komunitas elitenya lebih disibukkan memburu pemenuhan kepentingan hidupnya tanpa mengindahkan Pancasila, yang salah satu doktrin fundamentalnya berelasi dengan keberagamaan.

Apa yang dikritik filosof tersebut sejatinya ditembakkan secara moral untuk menyadarkan bangsa ini yang sedang kehilangan fondasi hidupnya, Pancasila. Bangsa ini menjadi bangsa yang tak jelas ke mana dan di mana harus melabuhkan cita-cita besarnya akibat dilindas oleh pengejaran kepentingan atau aneka kebutuhan sekunder dan hedonistik. Kemutlakan ini telah membuat wajah negeri menjadi sengkarut dan di simpang jalan.

Menyikapi realitas itu, sudah sepatutnya ada keberanian menertawakan diri sendiri, baik sebagai individu maupun komponen kekuasaan. Laughing is healthy, especially if you laugh about yourself (tertawa itu sehat, lebih-lebih jika menertawakan diri sendiri).

Itu dapat dijadikan refleksi, bahwa semakin sering menertawakan diri sendiri, maka semakin sehat. Semakin jarang menertawakan diri sendiri, maka ini pertanda mengidap sakit keras. Menertawakan diri sendiri ibarat sebuah obat yang menyehatkan fisik maupun nonfisik.

Kalau mau dijauhi banyak penyakit, sebarkan atau budayakan ”sense of humor” atau objek-objek pembahasan yang bisa membuat tertawa atau tersinggung berat. Dengan membuat dan memproduk humor (objek tertawaan) terus menerus dalam hidup di negeri ini, dalam lingkaran pergaulan, dalam berelasi sosial, atau dalam atmosfer yang menyita aktivitas berat kemasyarakatan dan kenegaraan, maka suasana akan tetap hidup, sehat, bugar, dan kondusif, serta muncul atmsofer berkompetisi atau berolimpiade untuk mengobati diri sendiri.

Siapa tahu dengan sering menertawakan diri sendiri, orang menjadi sadar bahwa mereka sudah sangat lama, sangat sistemik, dan sangat terorganisasi dalam mengakali atau mengadali Pancasila

opini, surya.co.id

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright Blog Pribadi-Ku © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.