Mohammad Afifuddin
Sarjana Sosiologi FISIP Universitas Jember
Salah satu prosesi wajib dalam setiap wisuda adalah mendengarkan nyanyian dari tim paduan suara mahasiswa (PSM). Lagunya macam-macam. Mulai Indonesia Raya, mars dan himne universitas, lagu nasional, hingga lagu pop kontemporer sebagai suplemen.
Suatu kali, salah seorang kawan yang menjadi anggota PSM pernah bertanya, “Lagu (pop) apa yang kira-kira enak dinyanyikan saat wisuda nanti?” Sedikit berpikir saya pun menjawab, “Sarjana Muda dari Iwan Fals.” Sambil beringsut dari duduknya, dia menertawakan saya, “Memangnya mengapa?” Dengan agak serius saya jawab, “Agar pihak kampus tidak terlalu di angan-angan. Biar Pak Rektor dan jajarannya bisa realistis, tidak terlena dengan eforia mahasiswanya yang akan diwisuda, karena toh sebagian besar dari sarjana yang baru diwisuda itu akan masuk dalam golongan sarjana yang diceritakan Iwan Fals dalam lagu Sarjana Muda itu.”
Saya sebenarnya tahu usulan itu nyaris mustahil. PSM akan dianggap bertindak subversif jika berani melakukan itu. Salah satu lagu hits Iwan Fals yang dirilis 1981 dalam album yang juga berjudul Sarjana Muda itu tergolong “haram” dinyanyikan saat wisuda karena liriknya yang berisi paradoks dan ironi. Lumrahnya, seorang sarjana yang pintar (diukur dengan parameter IPK tinggi, lulus cepat atau tepat waktu) semestinya bisa cepat pula terserap di dunia kerja.
Akan tetapi Iwan Fals punya pikiran lain. Ia memilih menulis syair tentang seorang sarjana pintar (sesuai kriteria di atas) yang justru sulit untuk mendapat kerja, meski sudah berjalan gontai tak tentu arah, sambil menatap awan berarak dengan wajah murung yang jelas terlihat. Sampai-sampai jaketnya lusuh bercampur keringat dan debu jalanan, hingga sarjana tadi putus asa dan berkata “maaf Ibu” karena merasa gagal membahagiakan sang ibu yang telah menyekolahkannya bertahun-tahun, namun tak juga mendapatkan pekerjaan.
Lirik itu jelas berbanding terbalik dengan suasana dalam prosesi wisuda. Pak Rektor dengan percaya diri maju ke podium, memberi sambutan, memberi arahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater di mana pun berada dan dalam kondisi apa pun. Semuanya dikondisikan serba sempurna, seolah-olah setelah wisuda usai, para wisudawan sudah bisa langsung mendapat tempat untuk berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan bentuk pengabdian pada bangsa dan negara itu.
Padahal, seusai resmi menjadi sarjana, mayoritas wisudawan itu akan menambah angka pengangguran terdidik yang grafiknya selalu naik dari tahun ke tahun. Dari data Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) 22 Maret 2010, menunjukkan jumlah sarjana (SI) yang masih menganggur pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, pada Februari 2012 terdapat lebih dari 1 juta pengangguran terdidik. Belum ditambah pengangguran lulusan diploma. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57 persen.
Akibat Rakus
Apa hubungannya dengan kampus? Bukankah perguruan tinggi, seperti kata Pak Rektor, juga sudah menempa para mahasiswanya agar menjadi lulusan yang berkualitas? Masalahnya, selain ketidaktahuan pihak perguruan tinggi (kampus) bahwa sistem pendidikan yang dikembangkannya selama ini asimetris dengan paradigma dunia kerja, pihak kampus juga setengah hati dalam memfasilitasi alumnusnya pascamereka lulus.
Memang, di beberapa kampus sudah dibentuk Study Advisory Centre (SAC), semacam badan yang mengurusi dunia kerja dan membuka jaringan antara perusahaan, kampus, dan alumnusnya. Akan tetapi kebanyakan, fasilitas itu hanya sekadar formalitas. Pelayanannya jauh dari kata memuaskan. Kondisi itu yang akhirnya membuat pihak kampus terkesan seperti “cuci tangan” dengan nasib para alumnusnya.
Elias Canetti, sastrawan Bulgaria pemenang Nobel Sastra pada tahun 1981, seperti dikutip F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas (2005, hal xxiii), memberi sebuah deskripsi yang mungkin akan membuat tertegun. Dia mencoba memahami makna dari ketidakbermaknaan buangan kita setiap hari, yakni (maaf) feses (kotoran manusia). Benda yang tak ingin kita lihat, meski secara jujur semua mengakui bahwa ia pernah merupakan bagian dari diri kita.
Bisa diibaratkan, relasi antara para sarjana yang kurang beruntung dengan lembaga industri pendidikan (perguruan tinggi), layaknya (maaf) manusia dengan fesesnya. Di awal penerimaan mahasiswa baru, banyak lembaga industri pendidikan tinggi yang bersemangat mempromosikan diri agar diminati banyak calon mahasiswa. Jika jalur penerimaan resmi (SNMPTN, PMDK) telah ditutup, ada saja inovasi mereka untuk merekrut mahasiswa baru. Mulai jalur seleksi lokal tahap I, tahap II, tahap III atau bahkan tahap IV. Intinya mereka begitu antusias untuk menerima mahasiswa. Tak jauh beda dengan manusia yang rakus menyantap bermacam makanan, tanpa memperhatikan kesehatannya. Tak jarang, lembaga industri pendidikan tinggi tersebut juga menerapkan banyak pungutan selama masa kuliah dengan alasan untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Padahal, tidak semua lembaga industri pendidikan tinggi telah menerapkan sistem pendidikan berkualitas.
Sebagai akibat terlalu sembarangan mengonsumsi makanan (menerapkan sistem input) itulah, proses “metabolisme” dalam lembaga industri pendidikan tinggi juga berjalan tidak sempurna. Pada akhirnya banyak yang terbuang. Oleh karena itu, yang disebut Iwan Fals dengan, “Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja. Sia-sia ijazahmu. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku…”, tak ubahnya kotoran dari industri pendidikan yang tidak lagi mau dilihat oleh lembaga-lembaga pendidikan yang telah meluluskannya karena dianggap tidak berguna. Padahal “sekotor” apapun, para sarjana kurang beruntung itu pernah menjadi bagian dalam proses “metabolisme” di perut industri pendidikan tinggi.
opini surya.co.id
0 comments:
Post a Comment